Namun, bila mencermati perintah Allah tentang disyariatkannya ibadah kurban ini sesungguhnya seluruh Nabi dan Rasul Allah telah melaksanakan perintah ini. Lihat Surah Al-Hajj [22] ayat 34. “Bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, berserah dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” Dalam Alquran dijelaskan, selain bentuk pendekatan diri kepada Allah dan syukur atas karunia yang diberikan-Nya, kurban adalah bentuk ketakwaan seorang Muslim dan melaksanakan segala perintah Allah. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah, Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Hajj [22]: 37).
Dalam sejarahnya, ibadah kurban telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Adam AS. Dalam berbagai buku sejarah, termasuk karya KHE Abdurrahman, “Hukum Kurban, Akikah dan Sembelihan”, disebutkan bahwa kurban pertama kali di dunia dilakukan oleh dua anak Adam, yakni Habil dan Qabil. Sebagaimana dikisahkan dalam berbagai buku sejarah Islam, kedua anak Adam ini diperintahkan oleh Allah untuk berkurban sebagai syarat utama untuk menikahi saudara kembar Qabil yang bernama Iklima. Adapun saudara Habil bernama Labuda. Adam memerintahkan kepada anak-anaknya untuk menikah secara bersilang. Misalnya, Habil menikah dengan Iklima dan Qabil menikahi Labuda. Perintah Adam ini ditolak oleh Qabil dengan alasan ia lebih mencintai Iklima, yang lebih cantik dibandingkan saudara Habil, Labuda. Untuk itulah, Allah memerintahkan Nabi Adam AS untuk menguji kedua anaknya itu dalam memberikan persembahan terbaik dari hasil usaha mereka kepada Allah, Tuhan Mahapencipta. Qabil memberikan persembahan berupa hasil perkebunannya, sedangkan Habil mempersembahkan hewan ternak. Qabil memberikan hasil kebun yang kurang baik, sedangkan Habil memberikan hewan ternak yang gemuk. Qabil mewakili kelompok petani, dan Habil mewakili peternak. Dalam beberapa riwayat disebutkan, pada zaman Nabi Adam sudah diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk dikurbankan. Sebagai petani, Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya, yakni berupa sayur-mayur dan buah-buahan. Sebagai peternak, Habil mengeluarkan hewan-hewan peliharaannya untuk kurban. Karena ketulusan dan keikhlasan yang diberikan Habil, persembahannya diterima oleh Allah, sedangkan persembahan Qabil ditolak. Harta yang dikurbankan itu disimpan di suatu tempat di Padang Arafah, yang sekarang menjadi napak tilas bagi para jamaah haji. Sebagai tanda diterimanya kurban itu ialah dengan datangnya api dari langit lalu membakarnya. Dan ternyata api menyambar hewan kurbannya Habil. Melihat hal demikian, Qabil menaruh dendam kepada Habil. Ia pun marah dan membunuh saudaranya itu. Peristiwa kurban yang dilakukan oleh kedua anak Nabi Adam ini telah dijelaskan Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Maidah [5] ayat 27, “Ceritakanlah kepada mereka kisah tentang dua anak Adam (Habil dan Qabil) dengan benar tatkala mereka (masing-masing) berkurban satu kurban, lalu diterima dari seorang di antara mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lainnya (Qabil). Ia berkata (Qabil), ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Kurban zaman Nabi Ibrahim AS
Dikisahkan, di usianya yang sudah menginjak 100 tahun, Nabi Ibrahim belum dikaruniai seorang anak pun. Karenanya, ia ingin sekali mendapat karunia seorang anak, dan beliau selalu berdoa, Rabbii hablii minash-shaalihiin!” Wahai Rabbku, karuniakanlah kepadaku sebagian dari keturunanku dari orang-orang yang saleh!” Doa Nabi Ibrahim itu dikabulkan Allah SWT. Dia diberi kabar akan mendapat anak yang saleh. Anak yang sangat didambakan Nabi Ibrahim telah lahir dari rahim istrinya yang kedua, bernama Siti Hajar. Dia amat mencintai dan menyayangi anaknya. Untuk menguji kecintaannya itu, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya tersayang. Namun, kecintaan Ibrahim kepada Allah jauh melebihi cintanya kepada sang anak. Hal ini pulalah yang menyebabkan Ibrahim mendapat gelar Al-Khalil (Sang kekasih). Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Allah memberi julukan kepada Ibrahim sebagai kekasih-Nya, para Malaikat melakukan protes. Sebab, julukan itu dianggap berlebihan. Namun, Allah menerangkan bahwa julukan itu diberikan karena Ibrahim sangat tulus memberikan cinta dan pengabdiannya kepada Allah. Jibril bertanya pada Allah, “Ya Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah (kekasih Allah) kepada Ibrahim, padahal ia sibuk dengan kekayaan dan keluarganya? Dengan demikian, bagaimana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah?” Allah menjawab, “Jangan kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena tiada di hatinya rasa cinta selain kepada-Ku. Bila kalian ingin menguji, ujilah dia.” Lalu, malaikat Jibril mengujinya dan terbukti bahwa kekayaan dan keluarganya tak sedikit pun membuat Ibrahim lalai dalam mengabdi kepada Allah. Bahkan, Allah pun mengujinya dengan perintah agar Ibrahim menyembelih putranya tersayang (Ismail). Walaupun perintah tersebut disampaikan melalui mimpi (ru’yah shadiqah), dengan ketabahan, ketulusan, dan tawakalnya kepada Allah, ia melaksanakan perintah tersebut dengan penuh keyakinan dan kepasrahan. Lihat Surah Ash-Shaffat [37] ayat 102-105. Ketulusannya tampak dari keberaniaan untuk tetap melaksanakan kurban. Walaupun iblis selalu berusaha menggodanya, Ibrahim tetap kukuh melaksanakan mimpi yang diyakini sebagai perintah dari Allah. Karena itulah, di saat setan menggodanya, Ibrahim melempari setan dengan batu. Begitu pula ketika setan menggoda Ismail, ia pun melempar baru. Setan kemudian menggoda Siti Hajar, ia juga dilempari batu. Ketiganya (Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar) secara bersama-sama melempari mereka dengan batu. Prosesi pelemparan batu kepada setan ini kemudian menjadi syariat perintah melempar jumrah bagi jamaah haji. Menyaksikan peristiwa yang mengharukan itu malaikat Jibril kagum seraya mengucapkan takbir sehingga sekarang takbiran itu menjadi tradisi. Kurban zaman Rasulullah SAW Nabi Muhammad SAW melakukan kurban pada saat melaksanakan Haji Wada di Mina. Kala itu Rasul SAW menyembelih 100 ekor unta, 63 ekor di sembelih dengan tangannya sendiri dan sisanya disembelih oleh Ali bin Abu Thalib. Keseluruhan hewan kurban tersebut disembelih setelah shalat Idul Adha dilaksanakan. (QS. Al-Hajj [22]: 36). Dalam surah Al-Hajj [22] ayat 36 tersebut dijelaskan tentang jenis hewan yang dijadikan kurban, tujuan dari berkurban, cara menyembelih hewan kurban, waktu memakan daging kurban, dan orang-orang yang dapat memakan daging kurban. Berdasarkan contoh Rasulullah SAW inilah umat Islam melaksanakan ibadah kurban. Di zaman pra-Islam, praktik kurban juga pernah dilakukan Abdul Muthalib (kakek Rasul SAW) ketika harus untuk mengurbankan Abdullah (ayah Rasul SAW) saat menggali sumur zamzam untuk kebutuhan penduduk Makkah. Ketika itu, Abdul Muthalib bernazar, bila anaknya sebanyak 10 orang, salah satu di antaranya akan dijadikan kurban atau persembahan. Namun, karena sayangnya kepada Abdullah, Abdul Muthalib melakukan pengundian hingga 10 kali, dan akhirnya tertulis nama Abdullah. Wallahu a’lam.
Dikutip dari : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar