Berikut ini kami sampaikan jawaban Ustadz Ahmad Sarwat atas pertanyaan mengenai hukum khitan bagi wanita yang kami kutip dari rumahfiqih.com.
Kita menyadari bahwa hukum khitan itu berbeda-beda tergantung dari siapa yang mengistimbath hukumnya. Para fuqaha sebagai kalangan yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan hukum-huukm fiqih dari dalil-dalil yang rinci baik dari Al Quran dan sunnah ternyata tidak satu kata dalam menentukan hukum khitan ini.
Kita melihat ada beberapa titik perbedaan pendapat yang bila kita sarikan akan terbagi menjadi beberapa pendapat, yaitu:
Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi (lihat Hasyiah Ibnu Abidin: 5-479; Al Ikhtiyar 4-167), mazhab Maliki (lihat Asy Syarhu Ash Shaghir 2-151) dan Syafi`i dalam riwayat yang syaz (lihat Al Majmu` 1-300).
Menurut pandangan mereka khitan itu
hukumnya hanya sunnah bukan wajib, namun merupakan fithrah dan syiar
Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri sepakat untuk tidak
melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi mereka sebagaimana
hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan azan dalam
shalat.
Khusus masalah mengkhitan anak wanita,
mereka memandang bahwa hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab
Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
`Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.` (HR Ahmad dan Baihaqi).
Selain itu mereka juga berdalil bahwa
khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena
disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
2. Pendapat keduadisebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi`i (lihat Al Majmu` 1-284/285; Al Muntaqa 7-232), mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al Qanna` 1-80 dan Al Inshaaf 1-123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu
wajib baik baik laki-laki maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan
adalah ayat Al Quran dan sunnah:
`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS. An-Nahl: 123).
Dan hadits dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
`Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Bukhari dan muslim).
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim Alaihis Salam karena merupakan bagian dari syariat kita juga`.
Dan juga hadits yang berbunyi,
`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR. Asy Syafi`i dalam kitab Al Umm yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).
3. Pendapat ketiga
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi
wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, yaitu
khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib.
(lihat Al Mughni 1-85)
Di antara dalil tentang khitan bagi wanita
adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menyuruh seorang perempuan yang
berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda
`Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya
memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak
seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan
dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada
sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas
memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti
itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam
mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya
diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan
khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa
melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan
wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting untuk dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar